Said he was a buffalo soldier win the war for America
Buffalo soldier, dreadlock rasta
Fighting on arrival, fighting for survival
Driven from the mainland to the heart of the caribbean...
Anda pasti kenal lirik lagu di atas. Lagu berjudul "Buffalo Soldier" ini
memang sudah sangat akrab di telinga kita. Lagu dengan beat slow dan
membawa kita hanyut dalam goyangan gemulai ini pasti mengingatkan kita
terhadap dua hal, reggae dan Bob Marley.
Ya, Bob Marley memang layak disandingkan dengan reggae. Pria kulit hitam yang mempunyai nama asli Robert Nesta Marley ini adalah pelopor musik reggae dan yang memppopulerkannya ke kancah musik internasional.
Munculnya Reggae
Musik reggae memang mempunyai sejarah yang panjang. reggae tidak hanya sebuah jenis musik bertempo lambat dengan vokal berat saja, tapi juga berhubungan erat dengan kepercayaan, identitas, dan simbol perlawanan terhadap penindasan.
Musik reggae memang mempunyai sejarah yang panjang. reggae tidak hanya sebuah jenis musik bertempo lambat dengan vokal berat saja, tapi juga berhubungan erat dengan kepercayaan, identitas, dan simbol perlawanan terhadap penindasan.
Tahun 1968 banyak disebut sebagai tahun kelahiran musik reggae.
Sebenarnya tidak ada kejadian khusus yang menjadi penanda awal
muasalnya, kecuali peralihan selera musik masyarakat Jamaika dari Ska
dan Rocsteady ke irama musik baru yang bertempo lebih lambat. Boleh
jadi, peralihan itu terjadi lantaran ingar-bingar dan tempo cepat Ska dan Rocksteady kurang cocok dengan kondisi sosial dan ekonomi di Jamaika yang sedang penuh tekanan.
Kata “reggae”
diduga berasal dari pengucapan dalam logat Afrika dari kata “ragged”
(gerak kagok–seperti entakan badan orang yang menari dengan iringan
musik ska atau reggae). Irama musik reggae sendiri dipengaruhi elemen musik R&B yang lahir di New Orleans, soul, rock, ritmik Afro-Caribean (Calypso, Merengue, Rhumba), dan musik rakyat Jamaika yang disebut Mento yang kaya dengan irama Afrika.
Musik reggae
sendiri pada awalnya lahir dari jalanan Getho (perkampungan kaum
Rastafaria) di Kingston, ibu kota Jamaika. Itulah yang menyebabkan gaya
rambut gimbal menghiasi para musisi reggae awal dan lirik-lirik lagu reggae sarat dengan muatan ajaran Rastafari, yakni kebebasan, perdamaian, dan keindahan alam, serta gaya hidup bohemian.
Masuknya reggae
sebagai salah satu unsur musik dunia yang juga mempengaruhi banyak
musisi dunia lainnya, dan membuat aliran musik satu ini menjadi barang
konsumsi publik dunia. Gaya rambut gimbal atau dreadlock serta lirik-lirik ‘Rasta’ dalam lagunya pun menjadi konsumsi publik. Dengan kata lain, dreadlock dan ajaran Rasta telah menjadi produksi pop, menjadi budaya pop, seiring berkembangnya musik reggae sebagai sebuah musik pop.
Musik dari Jamaika
Akar musikal reggae
terkait erat dengan tanah yang melahirkannya, Jamaika. Saat ditemukan
oleh Columbus pada abad ke-15, Jamaika adalah sebuah pulau yang dihuni
oleh suku Indian Arawak. Nama Jamaika sendiri berasal dari kosa kata
Arawak “xaymaca” yang berarti “pulau hutan dan air”.
Kolonialisme Spanyol dan Inggris pada abad ke-16 memusnahkan suku
Arawak, yang kemudian digantikan oleh ribuan budak belian berkulit
hitam dari daratan Afrika. Budak-budak tersebut dipekerjakan pada
industri gula dan perkebunan yang bertebaran di sana. Pada tahun 1838,
praktek perbudakan itu dihapus dan diikuti dengan melesunya perdagangan
gula dunia.
Di
tengah kerja berat dan ancaman penindasan, kaum budak Afrika memelihara
keterikatan pada tanah kelahiran mereka dengan mempertahankan tradisi.
Mereka mengisahkan kehidupan di Afrika dengan nyanyian (chant) dan bebunyian sederhana. Interaksi dengan kaum majikan yang berasal dari Eropa pun membekaskan
produk silang budaya yang akhirnya menjadi tradisi folk asli Jamaika.
Bila komunitas kulit hitam di Amerika atau Eropa dengan cepat luntur
identitas Afrika mereka, sebaliknya komunitas kulit hitam Jamaika masih
merasakan kedekatan dengan tanah leluhur.
Musik
Afrika pada dasarnya ada di kehidupan sehari-hari masyarakat Jamaika,
baik itu di jalan, bus, tempat umum, tempat kerja atau rumah yang
menjadi penyemangat saat kondisi sulit sehingga memberikan kekuatan dan
pesan tersendiri. Hasilnya, reggae musik bukan cuma memberikan
relaksasi, tapi juga membawa pesan cinta, damai, kesatuan dan
keseimbangan serta mampu mengendurkan ketegangan.
Bob Marley, Nabi Para Rasta
Terlahir
dengan nama Robert Nesta Marley pada Februari 1945 di St. Ann, Jamaika,
Bob Marley berayahkan seorang kulit putih dan ibu kulit hitam. Pada
tahun 1950-an Bob beserta keluarganya pindah ke ibu kota Jamaika,
Kingston. Di kota inilah obsesinya terhadap musik sebagai profesi
menemukan pelampiasan. Waktu itu Bob Marley banyak mendengarkan musik
R&B dan soul, yang kemudian hari menjadi inspirasi irama reggae. Selain itu di jalanan Kingston dia menikmati entakan irama Ska dan Steadybeat dan kemudian mencoba memainkannya sendiri di studio-studio musik kecil di Kingston.
Bersama
Peter McIntosh dan Bunny Livingston, Bob membentuk The Wailing Wailers
yang mengeluarkan album perdana di tahun 1963 dengan hit “Simmer Down”.
Lirik lagu mereka banyak berkisah tentang “rude boy”, anak-anak muda
yang mencari identitas diri dengan menjadi berandalan di jalanan
Kingston.
The Wailing Wailers bubar pada pertengahan 1960-an dan sempat membuat Bob Marley patah arang sehingga memutuskan
untuk berkelana ke Amerika. Pada bulan April 1966, Bob kembali ke
Jamaika, bertepatan dengan kunjungan HIM Haile Selassie I(Raja
Ethiopia) ke Jamaika untuk bertemu penganut Rastafari. Karisma sang
raja membawa Bob menjadi penghayat ajaran Rastafari pada tahun 1967,
dan bersama The Wailer, band barunya yang dibentuk setahun kemudian
bersama lawas Mc Intosh dan Livingston, dia menyuarakan nilai-nilai
ajaran Rasta melalui reggae. Penganut Rastafari lantas
menganggap Bob menjalankan peran profetik sebagaimana para nabi,
menyebarkan inspirasi dan nilai Rasta melalui lagu-lagunya.
The
Wailers bubar di tahun 1971, dan Bob segera membentuk band baru bernama
Bob Marley and The Wailers. Tahun 1972 album Catch A Fire diluncurkan.
Menyusul kemudian Burning (1973–berisi hits “Get Up, Stand Up” dan “ I
Shot the Sheriff” yang dipopulerkan Eric Clapton), Natty Dread (1975),
Rastaman Vibration (1976) dan Uprising (1981) yang makin memantapkan reggae sebagai musik mainstream dengan Bob Marley sebagai icon-nya.
Pada
tahun 1978, Bob Marley menerima Medali Perdamaian dari PBB sebagai
penghargaan atas upayanya mempromosikan perdamaian melalui
lagu-lagunya. Sayang, kanker mengakhiri hidupnya pada 11 Mei 1981 saat
usia 36 tahun di ranjang rumah sakit Miami, AS, seusai menggelar konser
internasional di Jerman. Sang Nabi kaum Rasta telah berpulang, namun
inspirasi humanistiknya tetap mengalun sepanjang zaman.
Dreadlock
Selain Bob Marley dan Jamaika, rambut gimbal atau lazim disebut “dreadlocks” menjadi titik perhatian dalam fenomena reggae. Saat ini dreadlock selalu diidentikkan dengan musik reggae, sehingga secara kaprah orang menganggap para pemusik reggae
yang melahirkan gaya rambut bersilang-belit itu. Padahal jauh sebelum
menjadi gaya, rambut gimbal telah menyusuri sejarah panjang.
Pada
tahun 1914 Marcus Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran
identitas kulit hitam lewat UNIA. Aspek spiritualitas rambut gimbal
dalam agama Hindu dan kaum tribal Afrika diadopsi oleh pengikut gerakan
ini. Mereka menyebut diri sebagai kaum “Dread” dan menyatakan memiliki
rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan. Rambut gimbal para Dread
inilah yang memunculkan istilah dreadlocks—tatanan rambut para Dread. Saat Rastafarianisme menjadi religi yang dikukuhi kelompok ini pada tahun 1930-an, dreadlocks juga menjelma menjadi simbolisasi sosial Rasta (pengikut ajaran Rastafari).
Simbolisasi
ini kental terlihat ketika pada tahun 1930-an Jamaika mengalami gejolak
sosial dan politik. Kelompok Rasta merasa tidak puas dengan kondisi
sosial dan pemerintah yang ada, lantas membentuk masyarakat tersendiri
yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan di antara semak belukar.
Mereka memiliki tatanan nilai dan praktek keagamaan tersendiri,
termasuk memelihara rambut gimbal. Pada pertengahan tahun 1960-an
perkemahan kelompok Rasta ditutup dan mereka dipindahkan ke daerah
Kingston, seperti di Kota Trench Town dan Greenwich, tempat di mana
musik reggae lahir pada tahun 1968.
Ketika musik reggae
memasuki arus besar musik dunia pada akhir tahun 1970-an, sosok Bob
Marley dan rambut gimbalnya menjadi icon baru yang dipuja-puja. Dreadlock
dengan segera menjadi sebuah tren baru dalam tata rambut dan cenderung
lepas dari nilai spiritualitasnya. Apalagi ketika pada tahun 1990-an dreadlocks mewarnai penampilan para musisi rock dan menjadi bagian dari fashion dunia.
Meski cenderung lebih identik dengan fashion, secara mendasar dreadlock tetap menjadi bentuk ungkap semangat anti kekerasan, anti kemapanan dan solidaritas untuk kalangan minoritas tertindas.
Reggae di Indonesia
Di Indonesia, beberapa nama yang terkenal dalam dunia musik reggae antara lain Tony Q, Steven & Coconut Treez, Joni Agung (Bali), New Rastafara, dan Heru ’Shaggy Dog’ (Yogyakarta). Banyak yang tidak tahu sejarah reggae di negeri ini. Bahkan musisi reggae di sini mungkin yang kurang paham jika ditanya siapa band awal mula yang pertama kali memainkan musik reggae.
Sekitar tahun 1986, musik reggae mulai dikumandangkan di Indonesia. Band itu adalah Black Company, sebuah band dengan genre reggae. Kemudian beberapa tahun kemudian muncul Asian Roots yang merupakan turunan dari band sebelumnya. Lantas ada pula Asian Force, Abresso dan Jamming.
Kini keberadaan musik reggae di Indonesia terkesan tersingkirkan. Apalagi kesan yang diperoleh ketika seseorang melihat penampilan para musisi reggae yang terkesan urakan dan tak mau tahu dengan kondisi orang lain. Bahkan, ada idiom yang hingga kini membuatnya semakin tersingkir adalah: reggae identik dengan narkoba.
Sekitar tahun 1986, musik reggae mulai dikumandangkan di Indonesia. Band itu adalah Black Company, sebuah band dengan genre reggae. Kemudian beberapa tahun kemudian muncul Asian Roots yang merupakan turunan dari band sebelumnya. Lantas ada pula Asian Force, Abresso dan Jamming.
Kini keberadaan musik reggae di Indonesia terkesan tersingkirkan. Apalagi kesan yang diperoleh ketika seseorang melihat penampilan para musisi reggae yang terkesan urakan dan tak mau tahu dengan kondisi orang lain. Bahkan, ada idiom yang hingga kini membuatnya semakin tersingkir adalah: reggae identik dengan narkoba.
Entah idiom itu benar atau tidak. Yang jelas, kesan minor yang diterimanya turut serta menenggelamkan reggae di antara musik-musik baru di dunia.
Said he was a buffalo soldier win the war for America
Buffalo soldier, dreadlock rasta
Fighting on arrival, fighting for survival
Driven from the mainland to the heart of the caribbean...
Anda pasti kenal lirik lagu di atas. Lagu berjudul "Buffalo Soldier" ini
memang sudah sangat akrab di telinga kita. Lagu dengan beat slow dan
membawa kita hanyut dalam goyangan gemulai ini pasti mengingatkan kita
terhadap dua hal, reggae dan Bob Marley.
Ya, Bob Marley memang layak disandingkan dengan reggae. Pria kulit hitam yang mempunyai nama asli Robert Nesta Marley ini adalah pelopor musik reggae dan yang memppopulerkannya ke kancah musik internasional.
Ya, Bob Marley memang layak disandingkan dengan reggae. Pria kulit hitam yang mempunyai nama asli Robert Nesta Marley ini adalah pelopor musik reggae dan yang memppopulerkannya ke kancah musik internasional.
Munculnya Reggae
Musik reggae memang mempunyai sejarah yang panjang. reggae tidak hanya sebuah jenis musik bertempo lambat dengan vokal berat saja, tapi juga berhubungan erat dengan kepercayaan, identitas, dan simbol perlawanan terhadap penindasan.
Musik reggae memang mempunyai sejarah yang panjang. reggae tidak hanya sebuah jenis musik bertempo lambat dengan vokal berat saja, tapi juga berhubungan erat dengan kepercayaan, identitas, dan simbol perlawanan terhadap penindasan.
Tahun 1968 banyak disebut sebagai tahun kelahiran musik reggae.
Sebenarnya tidak ada kejadian khusus yang menjadi penanda awal
muasalnya, kecuali peralihan selera musik masyarakat Jamaika dari Ska
dan Rocsteady ke irama musik baru yang bertempo lebih lambat. Boleh
jadi, peralihan itu terjadi lantaran ingar-bingar dan tempo cepat Ska dan Rocksteady kurang cocok dengan kondisi sosial dan ekonomi di Jamaika yang sedang penuh tekanan.
Kata “reggae”
diduga berasal dari pengucapan dalam logat Afrika dari kata “ragged”
(gerak kagok–seperti entakan badan orang yang menari dengan iringan
musik ska atau reggae). Irama musik reggae sendiri dipengaruhi elemen musik R&B yang lahir di New Orleans, soul, rock, ritmik Afro-Caribean (Calypso, Merengue, Rhumba), dan musik rakyat Jamaika yang disebut Mento yang kaya dengan irama Afrika.
Musik reggae
sendiri pada awalnya lahir dari jalanan Getho (perkampungan kaum
Rastafaria) di Kingston, ibu kota Jamaika. Itulah yang menyebabkan gaya
rambut gimbal menghiasi para musisi reggae awal dan lirik-lirik lagu reggae sarat dengan muatan ajaran Rastafari, yakni kebebasan, perdamaian, dan keindahan alam, serta gaya hidup bohemian.
Masuknya reggae
sebagai salah satu unsur musik dunia yang juga mempengaruhi banyak
musisi dunia lainnya, dan membuat aliran musik satu ini menjadi barang
konsumsi publik dunia. Gaya rambut gimbal atau dreadlock serta lirik-lirik ‘Rasta’ dalam lagunya pun menjadi konsumsi publik. Dengan kata lain, dreadlock dan ajaran Rasta telah menjadi produksi pop, menjadi budaya pop, seiring berkembangnya musik reggae sebagai sebuah musik pop.
Musik dari Jamaika
Akar musikal reggae
terkait erat dengan tanah yang melahirkannya, Jamaika. Saat ditemukan
oleh Columbus pada abad ke-15, Jamaika adalah sebuah pulau yang dihuni
oleh suku Indian Arawak. Nama Jamaika sendiri berasal dari kosa kata
Arawak “xaymaca” yang berarti “pulau hutan dan air”.
Kolonialisme Spanyol dan Inggris pada abad ke-16 memusnahkan suku
Arawak, yang kemudian digantikan oleh ribuan budak belian berkulit
hitam dari daratan Afrika. Budak-budak tersebut dipekerjakan pada
industri gula dan perkebunan yang bertebaran di sana. Pada tahun 1838,
praktek perbudakan itu dihapus dan diikuti dengan melesunya perdagangan
gula dunia.
Di
tengah kerja berat dan ancaman penindasan, kaum budak Afrika memelihara
keterikatan pada tanah kelahiran mereka dengan mempertahankan tradisi.
Mereka mengisahkan kehidupan di Afrika dengan nyanyian (chant) dan bebunyian sederhana. Interaksi dengan kaum majikan yang berasal dari Eropa pun membekaskan
produk silang budaya yang akhirnya menjadi tradisi folk asli Jamaika.
Bila komunitas kulit hitam di Amerika atau Eropa dengan cepat luntur
identitas Afrika mereka, sebaliknya komunitas kulit hitam Jamaika masih
merasakan kedekatan dengan tanah leluhur.
Musik
Afrika pada dasarnya ada di kehidupan sehari-hari masyarakat Jamaika,
baik itu di jalan, bus, tempat umum, tempat kerja atau rumah yang
menjadi penyemangat saat kondisi sulit sehingga memberikan kekuatan dan
pesan tersendiri. Hasilnya, reggae musik bukan cuma memberikan
relaksasi, tapi juga membawa pesan cinta, damai, kesatuan dan
keseimbangan serta mampu mengendurkan ketegangan.
Bob Marley, Nabi Para Rasta
Terlahir
dengan nama Robert Nesta Marley pada Februari 1945 di St. Ann, Jamaika,
Bob Marley berayahkan seorang kulit putih dan ibu kulit hitam. Pada
tahun 1950-an Bob beserta keluarganya pindah ke ibu kota Jamaika,
Kingston. Di kota inilah obsesinya terhadap musik sebagai profesi
menemukan pelampiasan. Waktu itu Bob Marley banyak mendengarkan musik
R&B dan soul, yang kemudian hari menjadi inspirasi irama reggae. Selain itu di jalanan Kingston dia menikmati entakan irama Ska dan Steadybeat dan kemudian mencoba memainkannya sendiri di studio-studio musik kecil di Kingston.
Bersama
Peter McIntosh dan Bunny Livingston, Bob membentuk The Wailing Wailers
yang mengeluarkan album perdana di tahun 1963 dengan hit “Simmer Down”.
Lirik lagu mereka banyak berkisah tentang “rude boy”, anak-anak muda
yang mencari identitas diri dengan menjadi berandalan di jalanan
Kingston.
The Wailing Wailers bubar pada pertengahan 1960-an dan sempat membuat Bob Marley patah arang sehingga memutuskan
untuk berkelana ke Amerika. Pada bulan April 1966, Bob kembali ke
Jamaika, bertepatan dengan kunjungan HIM Haile Selassie I(Raja
Ethiopia) ke Jamaika untuk bertemu penganut Rastafari. Karisma sang
raja membawa Bob menjadi penghayat ajaran Rastafari pada tahun 1967,
dan bersama The Wailer, band barunya yang dibentuk setahun kemudian
bersama lawas Mc Intosh dan Livingston, dia menyuarakan nilai-nilai
ajaran Rasta melalui reggae. Penganut Rastafari lantas
menganggap Bob menjalankan peran profetik sebagaimana para nabi,
menyebarkan inspirasi dan nilai Rasta melalui lagu-lagunya.
The
Wailers bubar di tahun 1971, dan Bob segera membentuk band baru bernama
Bob Marley and The Wailers. Tahun 1972 album Catch A Fire diluncurkan.
Menyusul kemudian Burning (1973–berisi hits “Get Up, Stand Up” dan “ I
Shot the Sheriff” yang dipopulerkan Eric Clapton), Natty Dread (1975),
Rastaman Vibration (1976) dan Uprising (1981) yang makin memantapkan reggae sebagai musik mainstream dengan Bob Marley sebagai icon-nya.
Pada
tahun 1978, Bob Marley menerima Medali Perdamaian dari PBB sebagai
penghargaan atas upayanya mempromosikan perdamaian melalui
lagu-lagunya. Sayang, kanker mengakhiri hidupnya pada 11 Mei 1981 saat
usia 36 tahun di ranjang rumah sakit Miami, AS, seusai menggelar konser
internasional di Jerman. Sang Nabi kaum Rasta telah berpulang, namun
inspirasi humanistiknya tetap mengalun sepanjang zaman.
Dreadlock
Selain Bob Marley dan Jamaika, rambut gimbal atau lazim disebut “dreadlocks” menjadi titik perhatian dalam fenomena reggae. Saat ini dreadlock selalu diidentikkan dengan musik reggae, sehingga secara kaprah orang menganggap para pemusik reggae
yang melahirkan gaya rambut bersilang-belit itu. Padahal jauh sebelum
menjadi gaya, rambut gimbal telah menyusuri sejarah panjang.
Pada
tahun 1914 Marcus Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran
identitas kulit hitam lewat UNIA. Aspek spiritualitas rambut gimbal
dalam agama Hindu dan kaum tribal Afrika diadopsi oleh pengikut gerakan
ini. Mereka menyebut diri sebagai kaum “Dread” dan menyatakan memiliki
rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan. Rambut gimbal para Dread
inilah yang memunculkan istilah dreadlocks—tatanan rambut para Dread. Saat Rastafarianisme menjadi religi yang dikukuhi kelompok ini pada tahun 1930-an, dreadlocks juga menjelma menjadi simbolisasi sosial Rasta (pengikut ajaran Rastafari).
Simbolisasi
ini kental terlihat ketika pada tahun 1930-an Jamaika mengalami gejolak
sosial dan politik. Kelompok Rasta merasa tidak puas dengan kondisi
sosial dan pemerintah yang ada, lantas membentuk masyarakat tersendiri
yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan di antara semak belukar.
Mereka memiliki tatanan nilai dan praktek keagamaan tersendiri,
termasuk memelihara rambut gimbal. Pada pertengahan tahun 1960-an
perkemahan kelompok Rasta ditutup dan mereka dipindahkan ke daerah
Kingston, seperti di Kota Trench Town dan Greenwich, tempat di mana
musik reggae lahir pada tahun 1968.
Ketika musik reggae
memasuki arus besar musik dunia pada akhir tahun 1970-an, sosok Bob
Marley dan rambut gimbalnya menjadi icon baru yang dipuja-puja. Dreadlock
dengan segera menjadi sebuah tren baru dalam tata rambut dan cenderung
lepas dari nilai spiritualitasnya. Apalagi ketika pada tahun 1990-an dreadlocks mewarnai penampilan para musisi rock dan menjadi bagian dari fashion dunia.
Meski cenderung lebih identik dengan fashion, secara mendasar dreadlock tetap menjadi bentuk ungkap semangat anti kekerasan, anti kemapanan dan solidaritas untuk kalangan minoritas tertindas.
Reggae di Indonesia
Di Indonesia, beberapa nama yang terkenal dalam dunia musik reggae antara lain Tony Q, Steven & Coconut Treez, Joni Agung (Bali), New Rastafara, dan Heru ’Shaggy Dog’ (Yogyakarta). Banyak yang tidak tahu sejarah reggae di negeri ini. Bahkan musisi reggae di sini mungkin yang kurang paham jika ditanya siapa band awal mula yang pertama kali memainkan musik reggae.
Sekitar tahun 1986, musik reggae mulai dikumandangkan di Indonesia. Band itu adalah Black Company, sebuah band dengan genre reggae. Kemudian beberapa tahun kemudian muncul Asian Roots yang merupakan turunan dari band sebelumnya. Lantas ada pula Asian Force, Abresso dan Jamming.
Kini keberadaan musik reggae di Indonesia terkesan tersingkirkan. Apalagi kesan yang diperoleh ketika seseorang melihat penampilan para musisi reggae yang terkesan urakan dan tak mau tahu dengan kondisi orang lain. Bahkan, ada idiom yang hingga kini membuatnya semakin tersingkir adalah: reggae identik dengan narkoba.
Sekitar tahun 1986, musik reggae mulai dikumandangkan di Indonesia. Band itu adalah Black Company, sebuah band dengan genre reggae. Kemudian beberapa tahun kemudian muncul Asian Roots yang merupakan turunan dari band sebelumnya. Lantas ada pula Asian Force, Abresso dan Jamming.
Kini keberadaan musik reggae di Indonesia terkesan tersingkirkan. Apalagi kesan yang diperoleh ketika seseorang melihat penampilan para musisi reggae yang terkesan urakan dan tak mau tahu dengan kondisi orang lain. Bahkan, ada idiom yang hingga kini membuatnya semakin tersingkir adalah: reggae identik dengan narkoba.
Entah idiom itu benar atau tidak. Yang jelas, kesan minor yang diterimanya turut serta menenggelamkan reggae di antara musik-musik baru di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar