(Seri Morina Pelawi) Stupa yang menjadi tempat penyimpanan tengkorak korban pembantaian.
Begitu tiba di kota Phnom Penh, hal pertama yang ditawarkan para supir tuktuk adalah mengunjungi tiga tempat, museum Genosida Tuol Sleng, ladang pembantaian Choeung Ek dan selanjutnya berbelanja ke Russian Market. Tarifnya 15 US $ untuk seharian. Dan biasanya tur dimulai pukul 8 atau 9 pagi.
Tuol Sleng Genocide Museum.
Cerita kelam rakyat Kamboja terjadi pada masa tahun 1975-1979 ketika terjadi kudeta di dalam negeri oleh Saloth Sar atau lebih dikenal dengan nama Pol Pot. Dengan tujuan memurnikan kembali darah bangsanya dari pengaruh asing, Pol Pot bertindak membabi-buta. Mata uang dihapuskan, bank-bank ditutup, kantor-kantor asing dirusak dan dibakar.
Tidak itu saja Pol Pot menghabisi bangsanya tanpa pandang bulu termasuk juga anak-anak yang tak berdosa. Tidak heran jika sampai hari ini Kamboja terlihat jauh tertinggal diantara negara-negara tetangganya mengingat diantara hampir 2 juta jiwa yang menjadi korban kebuasan rezim itu termasuk kaum intelektual negerinya. Dan Tuol Sleng adalah saksi utama sejarah itu.
Tuol Sleng merupakan bekas sekolah Tuol Svay Prey Secondary School. Pada masa rezim Khmer Merah berkuasa areal sekolah yang terdiri atas empat gedung bertingkat 3 ini dijadikan sebagai penjara dan tempat intrograsi para tahanan. Gedung-gedung ini diberi nama A, B, C, D dan semuanya memiliki cerita kelam tentang kekejaman Pol Pot dan koleganya.
Pertama masuk ke dalam museum setelah membayar ticket, pengunjung akan disuguhi pemandangan empat gedung yang letaknya berdekatan. Di halaman gedung A terdapat 14 gundukan batu putih yang merupakan kuburan korban terakhir rezim ini sesaat sebelum pasukan pemerintah datang. Salah satu diantaranya adalah perempuan. Kondisi mereka saat ditemukan sudah rusak akibat siksaan dan tidak memiliki identitas
Gedung A menjadi tempat penyiksaan para tahanan. Di atas balai-balai besi terdapat alat penjepit kuku dan juga rantai untuk mengikat kaki tahanan. Begitu juga dengan gedung B dengan bilik-bilik kecil yang menjadi penjara bagi tahanan. Dinding luar gedung ini diberi kawat listrik dan dipagari agar tahanan tidak bisa melakukan bunuh diri. Ada juga dokumentasi foto-foto para korban. Wajah-wajah mereka terlihat tanpa ekspresi, seakan sudah tahu maut segera datang. Sementara sebagian anak-anak terlihat tersenyum tanpa tahu apa yang akan terjadi dengannya. Sebuah lemari kaca menyimpan beberapa lembar pakaian para korban.
Di depan gedung B terdapat sebuah tiang kayu dengan tiga kerekan diatasnya, sementara dibawah terdapat gentong besar. Biasanya para tawanan akan diikat dan ditarik dengan kerekan kemudian kepalanya di cebur-ceburkan ke dalam tong selama proses interograsi. Jika dianggap belum mengaku para tahanan kemudian disiksa dengan menggunakan alat-alat seperti palu, gunting, pisau, cangkul dan sebagainya.
Tidak heran jika rasa mual muncul saat berada di dalam gedung-gedung ini. Cerita penyiksaan rezim ini bisa kita lihat melalui lukisan yang dibuat oleh salah seorang korban yang selamat. Di gedung D kita bisa menyaksikan tengkorak sebagian korban pembantaian. Beberapa pengunjung dari Asia menyalakan hio untuk mereka.
Seperti pengunjung lain, saya menghela nafas panjang sesaat setelah berada di luar gedung. Di sini disediakan bangku panjang tempat pengunjung beristirahat. Dan seorang wanita paruh baya dari Amerika tidak henti-hentinya menangis dan bilang ’it’s horrible!’. Sebuah kata yang juga terucap dari dalam hati saya. Tidak habis fikir Pol Pot bisa menghabisi jutaan nyawa bangsanya tanpa pandang bulu demi sebuah ambisi!
Choeung Ek (The Killing Fields)
Ladang pembantaian Choeung Ek terletak 15 kilometer barat daya Phnom Penh. Daerah ini merupakan tempat ditemukannya 8985 korban rezim Khmer Merah pada tahun 1980. Mereka ditemukan dari hasil penggalian 86 kuburan massal yang ada disana. 43 kuburan dibiarkan tanpa disentuh. Kebanyakan korban adalah tahanan yang sudah disiksa di Tuol Sleng dan dikirim ke Choeung Ek untuk dihabisi nyawanya. Para korban, baik pria, wanita, dan anak-anak ada yang dipukul sampai mati, ditembak, dipenggal, diikat dan dikubur hidup-hidup.
Sebelum masuk kedalam areal ini, kita terlebih dahulu membayar tiket masuk dan melihat bangunan pagoda berdinding kaca yang memuat ratusan tengkorak korban. Pengunjung bisa membeli bunga dan menyalakan hio untuk menghormati arwah mereka. Sebelum menjadi ladang pembantian, Choeung Ek merupakan lokasi pemakaman orang Cina di Kamboja. Sisa-sisa kuburan mereka masih bisa kita lihat.
Lubang-lubang bekas penggalian masih terlihat jelas meski sudah diselimuti rumput. Beberapa bagian tulang yang tersisa tersimpan di dalam lemari kaca. Sebatang pohon besar berada ditengah-tengah area pembantaian dan diberi nama Magic Tree. Ketika rezim Khmer akan membunuh korban, dipohon itu digantungkan sebuah loudspeaker besar yang volumenya dikencangkan sehingga suara erangan atau letusan senjata tidak bisa didengar penduduk sekitar. Terdapat juga sebatang pohon kayu yang menjadi tempat anak-anak dipukul atau bayi-bayi dilemparkan ke atasnya untuk kemudian ditembak seperti anak burung.
Di tempat ini juga terdapat sebuah museum kecil yang memuat beberapa barang peninggalan Khmer Merah. Juga fhoto-fhoto dari sebagian korban Pol Pot. Seperti di Tuol Sleng, berada di Choeung Ek membuat kita kembali bertanya akan hakikat kemanusiaan di dalam diri seorang Pol Pot yang notabene merupakan kaum terpelajar Kamboja dan pernah menuntut ilmu di luar negeri.
Russian Market
Seperti Old Market di Siem Reap, pasar ini juga menyediakan berbagai kaos dan souvenir khas Kamboja bagi para turis. Harganya juga tidak jauh beda. Lumayan bagus untuk mengalihkan fikiran dari bayang-bayang kekejaman Khmer Merah.
Penutup
Begitulah kisah perjalanan ke negeri Khmer. Ada keagungan kebudayaan yang menjadi kebanggaan bangsa dan dunia, namun terselip juga kisah sedih rakyat Kamboja di masa lalu. Tetapi begitulah sejarah tercipta, ada yang perlu diagungkan dan ada yang harus dihapus dari kenangan meski tak bisa terlupakan dalam ingatan. Kamboja memberi begitu banyak pelajaran tentang kebudayaan sekaligus tragedi kemanusiaan bagi dunia.***
Berastagi, Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar